A. Pengertian SKM/SSN
1. Sekolah Kategori Mandiri (SKM)/Sekolah Standar Nasional (SSN) adalah sekolah yang hampir atau sudah memenuhi standar nasional pendidikan.
2. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari delapan standar yaitu standar isi, standar, kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pengertian masing-masing standar tersebut adalah:
a. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
b. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
c. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
d. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
e. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel bekerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumbervbelajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
f. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitanvdengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
g. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
h. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
B. Karakteristik SKM/SSN
Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri
Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional pendidikan dan mampu menjalankan sistem kredit semester. Penerapan Sistem Kredit Semester (SKS) perlu memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain sebagai berikut :
1. Kebulatan kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam
satuan kredit semester (sks)
2. Kurikulum terdiri atas tiga kelompok mata pelajaran, yaitu pokok, pilihan wajib dan pilihan bebas.
3. Mata pelajaran pokok harus diambil oleh semua peserta didik karena mendasari pembentukan kemampuan umum yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari dan mendasari pembentukan kemampuan akademik/profesional yang akan menjadi karir sebagai sumber penghidupan. Mata pelajaran wajib mencakup: Agama, Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika, IPA, IPS dan Olah Raga (pembentukan moral beragama, berkomunikasi, matematik, IPA dan IPS).
4. Mata pelajaran pilihan wajib, yaitu:
a. Kelompok IPA, yaitu Kimia dan Biologi, bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan mengambil bidang kedokteran, farmasi, biologi, pertanian, dan sejenisnya.
b. Kelompok Pasti, Matematika dan Fisika, bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan mengambil bidang rekayasa, komputer, dan sejenisnya.
c. Kelompok IPS, yaitu PPKn, Ekonomi, Sosiologi dan Sejarah, bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan mengambil bidang hukum, ekonomi, dan sejenisnya.
d. Kelompok Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan bahasa lain, bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan mengambil bidang sastra dan budaya.
e. Kelompok Seni, bagi peserta didik yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan mengambil bidang seni.
f. Kelompok Keterampilan, bagi peserta didik yang mungkin terpaksa akan masuk ke pasar kerja (tidak akan melanjutkan ke pendidikan tinggi).
5. Mata pelajaran pilihan bebas, seperti teknologi informasi, keterampilan, olah raga, dan seni. Peserta didik memilih beberapa mata pelajaran ini sesuai dengan bakat dan kegiatan rekreatif dan/atau sosial yang diminatinya.
6. Peserta didik dinyatakan lulus SMA bila telah menyelesaikan total kredit minimal sebesar 120 sks yang terdiri atas matapelajaran wajib 40 sks (Bahasa Indonesia 8 sks, Matematika 8 sks, IPA 8 sks, IPS 8 sks, Pendidikan Olah Raga 4 sks dan Seni 4 sks), mata pelajaran pilihan kelompok 40 sks, mata pelajaran pilihan bebas sebesar 40 sks.
7. Satu kredit semester berbobot 48 jam kegiatan yang berlangsung tiga jam (satu jam kegiatan tatap muka, satu jam kegiatan terstruktur dan satu jam kegiatan mandiri) per minggu selama 16 minggu.
8. Kredit diberikan kepada peserta didik yang telah menyelesaikan proses pembelajaran yang baik (bonafide) secara aktif selama satu semester dan telah mencapai standar kompetensi minimal yang ditetapkan (misal 70%) untuk mata pelajaran tertentu.
9. Pencapaian kompetensi diukur melalui tes kinerja yang dilakukan secara terus menerus (continuous) menggunakan metode pengamatan, pemberian tugas dan ujian tulis.
10. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi peserta didik yang pernah absen dan mengatur jadwal kegiatan tambahan (remedi) pada kompetensi dasar tertentu bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimal yang sudah ditetapkan.
11. Peserta didik yang sudah mengikuti kegiatan tambahan namun tetap belum mencapai skor (kompetensi) minimal pada mata pelajaran pokok/wajib harus mengambil ulang pada semester berikutnya, sedangkan untuk mata pelajaran pilihan bebas boleh mengganti dengan mata pelajaran lain pada semester berikutnya.
12. Rumusan kompetensi mencakup penguasaan pengetahuan esensial, konsep, keterampilan dan sikap; dan menetapkan batas minimal ketuntasan (misal 70%).
13. Sekolah dapat menyusun mata pelajaran prasyarat, bila dipandang perlu.
14. Sekolah membentuk tim pembahas (penasihat/pembimbing akademik) yang bertugas menilai pencapaian kredit peserta didik sebagai dasar sekolah menetapkan mata pelajaran yang dapat diambil setiap peserta didik pada semester berikutnya (peserta didik dapat maju berkelanjutan).
15. Sekolah menunjuk satu orang guru sebagai petugas bimbingan akademik untuk setiap kelompok maksimum 20 orang peserta didik untuk memberi layanan konsultasi akademik secara individual kepada yang bersangkutan dan/atau orang tuanya dalam rangka memecahkan masalah akademik yang dihadapi dan menyusun rencana belajar peserta didik pada semester berikutnya.
16. Sekolah mengkomunikasikan hasil pembahasan kemajuan belajar setiap peserta didik tersebut kepada orang tua sebelum diberikan kepada peserta didik yang bersangkutan.
17. Peserta didik mengambil/menyusun rencana kegiatan belajar pada semester I secara paket sesuai dengan ketentuan yang dibuat sekolah, misal sebesar 20 SKS, sedangkan pada semester II dan seterusnya berdasarkan indeks prestasi (IP) yang dicapai pada semester sebelumnya. Contoh, periksa
Tabel 1.
18. Mengacu pada tabel 1, peserta didik berprestasi tinggi dimungkinkan menyelesaikan belajar dalam waktu kurang dari enam semester, sebaliknya peserta didik yang memiliki kesulitan akademik harus memperoleh layanan khusus untuk mengatasinya.
19. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota merumuskan standar kompetensi mata pelajaran secara jelas dan dapat dipahami dengan baik oleh semua pihak terkait yang berlaku di semua sekolah, seperti mata pelajaran matematika, Fisika, Kimia, Ekonomi dan Bahasa Inggris sehingga dimungkinkan peserta didik pindah sekolah.
20. Sekolah harus menunjuk petugas khusus untuk mendata kemajuan belajar setiap peserta didik. Data peserta didik yang bersangkutan dan program pemecahannya harus didokumentasikan dengan baik dan dapat dibuka setiap saat diperlukan.
21. Sekolah harus menyediakan layanan percepatan bagi peserta didik yang mencapai kompetensi lebih cepat dari waktu standar.
Senin, 09 Januari 2012
karakteristik pendidikan nasional
Minggu, 08 Januari 2012
langkah pembelajaran auditory intelectualli repetition.
Artikel dan berita tentang langkah langkah pembelajaran auditory intellectualy repetition air mungkin telah berada pada daftar posting yang telah dipublis pada situs ini, namun mungkin anda belum menuliskan kata kunci yang tepat, bila belum menemukan yang sesuai dengan langkah langkah pembelajaran auditory intellectualy repetition air, Anda dapat melakukan pencarian dengan kata kunci yang lain, pada search di situs kafeilmu ini, atau dengan melihat daftar post berikut ini yang mungkin mempunyai materi yang diinginkan. Serta kami sertakan pula beberapa situs lain yang membahas langkah langkah pembelajaran auditory intellectualy repetition air. Anda juga bisa request untuk memuat artikel tentang langkah langkah pembelajaran auditory
R
model pembelajaran sejarah
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan suatu kegiatan tugas professional pendidikan, yang bertolak dari perubahan kondisi pembelajaran saat ini dan merekonstruksi suatu model pembelajaran ke masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal itu perlu dipahami terlebih dahulu apa dan bagaimana model dalam konteks praktik pembelajaran.
Menurut Mills (1989:4), model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Perumusan model mempunyai tujuan: (1) memberikan gambaran kerja sistem untuk periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan perubahan; (2) memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem; (3) memproduk model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan kompleksitas rendah.
Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran.
Model Mengajar
Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran. Untuk menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi yang akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai.
Memilih suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model mengajar yang cocok itu tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi, bahwa hanya ada model mengajar yang sesuai dengan model belajar. Apabila guru mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka guru harus membiarkannya dia berkembang sesuai dengan gayanya masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta didik.
Banyak model mengajar yang telah dikembangkan oleh para ahli. Pengembangan model tersebut didasarkan pada konsep teori yang selama ini dikembangkan. Mengingat banyaknya model mengajar yang telah dikembangkan, Bruce Joyce et.al (2000) mengelompokkan menjadi empat rumpun yaitu: model pemrosesan informasi (processing information model), model pribadi (personal model), model interaksi sosial (social model), dan model perilaku (behavior model).
Model mengajar pemrosesan informasi terdiri dari model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Dalam prosesnya ditempuh langkah-langkah seperti mengorganisasi data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol verbal dan non verbal. Banyak model mengajar yang tergolong pada kelompok model ini, yaitu: Inductive thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry, Inquiry Tarining.
Model pribadi berorientasi pada perkembangan diri individu. Pelaksanannya lebih menekankan pada upaya membantu individu dalam membentuk dan mengorganisasikan realita yang unik serta lebih memperhatikan kehidupan emosional peserta didik. Upaya pengajaran lebih diarahkan pada menolong peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Yang tergolong pada kelompok model mengajar ini adalah: Nondirective teaching dan Enhancing self esteem.
Model Interaksi Sosial mengutamakan pada hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses dimana realita yang ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas utama diletakkan pada kecakapan individu dalam berhubungan dengan orang lain. Yang tergolong pada kelompok model mengajar diantaranya: Partner in learning, Structured Inquiry, Group Investigation, Role Playing.
Model mengajar perilaku dibangun atas dasar teori yang umum, yaitu kerangka teori perilaku. Salah satu cirinya adalah kecenderungan memecahkan tugas belajar kepada sejumlah perilaku yang kecil-kecil dan berurutan serta dapat terukur. Belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyeluruh, tetapi diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat diamati. Mengajar berarti mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku siswa, dan perubahan tersebut haruslah teramati. Termasuk dalam model perilaku ini adalah: Mastery learning, Direct Instruction, Simulation, Social Learning, Programmed Schedule.
Pergeseran Konsep Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model belajar. Asumsi pergeseran tersebut, bertolak dari peserta didik yang diharapkan dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan keterampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: a) Behaviroisme, b) Kognitivisme, dan c) Konstruktivisme.
a. Pembelajaran Behavirosime
Good et. al.(1973) menganggap Behaviorisme atau tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yang terbina akan memberi rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
b. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; DAN (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)
c. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.
Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme:
§ Piaget
Pembelajaran konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari luar.
§ Konstrukstivisme personal
pembelajaran menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
§ Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.
§ Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2) pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh individu setelah melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang dimilikinya.
2. Pengembangan Model Pembelajaran
Berpijak pada tiga teori belajar seperti dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus selaras dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, apabila kita menganut teori behaviorisme, maka model pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku. Untuk penganut teori kognitivisme, model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan informasi. Adapun untuk yang menganut teori belajar konstruktivisme, maka model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yang bersifat interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada masalah. Hal ini didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh konstruktivisme, yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru.
a. Pengembangan model pembelajaran behaviorisme.
Sesuai dengan pilosofis yang dianut oleh para ahli behavioris tentang belajar, yaitu perubahan perilaku yang dapat diukur, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan perilaku baru yang dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi berdasarkan pola berfikir deduktif, dan siswa belajar secara individu (individual learning). Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih terfokus pada guru (teacher centered). Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya adalah model pembelajaran mastery, model pembelajaran langsung, model pembelajaran simulasi, model pembelajaran sosial, dan model pembelajaran berprogram. Setiap model tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan strategi.
b. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori kognitivisme.
Menurut pandangan kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan perilaku yang dapat diukur, melainkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses. Dengan kata lain, menurut kognitivis belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons, melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri individu tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut pandangan ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak dan orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam proses berfikirnya, dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif.
c. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme.
Berbeda dengan teori sebelumnya, konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh langsung oleh siswa berdasarkan pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam proses pemelajarannya lebih ditekankan pada model belajar kolaboratif. Dengan kata lain, siswa belajar dalam kelompok tidak seperti pada pembelajaran konvensional, bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa seorang siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, melainkan juga belajar dari yang lain. Dengan demikian, model pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah model pembelajaran yang terpusat pada masalah dan model belajar kolaboratif.
Trend Pembelajaran
1. Quantum Learning
Keberhasilan proses belajar yang dialami oleh seseorang, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari luar diri individu maupun yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan. Faktor yang berasal dari dalam diri individu berupa: motivasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan, dan aplikasi. Adapun yang berasal dari luar diri individu dapat berasal dari bahan ajar, pengajar, ataupun lingkungan tempat dia belajar. Proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Agar dalam proses belajar terjadi keseimbangan, harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri seimbang.
Quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karena itu, belajar dalam konsep quantum learning adalah memberdayakan seluruh potensi yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan.
Quantum learning mengonsep tentang "menata pentas: lingkungan belajar yang tepat." Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai.
Lingkungan makro ialah "dunia yang luas". Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. "Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru". Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi.
Pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan muncul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Kemampuan dalam menyerap informasi selanjutnya dikenal dengan istilah modalitas belajar. Adapun kemampuan dalam mengatur dan mengolah informasi dikenal dengan istilah dominasi otak.
DePorter (2002) mengelompokkan modalitas seseorang menjadi tiga kelompok yaitu visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas tersebut dapat dibantu dengan menggunakan suatu alat yang dinamakan media, yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya, akan benar-benar menyadari terhadap modalitas, khususnya modalitas belajar yang dimilikinya.
Komponen modalitas secara teoretis mengandung aspek-aspek seperti yang dikemukakan Gardner (1992) mencakup berbagai cara dilakukan dalam membelajarkan diri, mencakup: (1) verbal/linguistik, (2) logical/mathematical, (3) visual/spatial, (4) body/kinesetik, (5) musical/rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan naturalistik.
2. Quantum Teaching
Mengajar merupakan salah satu tugas seseorang yang menyandang predikat sebagai pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki seorang pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa, melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan evaluasi hasil belajar.
Mengajar pada hakekatnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh pengajar dalam rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar. Dengan demikian, mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru, alat pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut, diharapkan pada diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan nama proses belajar (Nasution, 1982).
Dalam konsep di atas, tersirat bahwa peran pengajar adalah pemimpin dan fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya menyampaikan bahan pelajaran, tetapi suatu proses dalam upaya membelajarkan peserta pembelajar. Mengingat sasaran utama dalam proses pembelajaran adalah terjadinya proses belajar, maka komponen-komponen pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, terutama modalitas yang dimilikinya.
Quantum teaching, merupakan konsep yang dikembangkan tentang mengajar ini didasarkan pada asas utama, yaitu "bawalah dunia mereka ke dunia kita dan bawalah dunia kita ke dunia mereka". Selain itu, dikembangkan juga lima prinsip dasar, yaitu segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dikerjakan layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model yang dikembangkan terdiri dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan rancangan) dan isi yang mencakup presentasi. Kerangka rancangan belajarnya adalah tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR).
Lawatan Sejarah Sebagai Model Pembelajaran
Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites). Jika mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori behavioristik, koqnitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan/atau murid mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru. Terutama paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun Peraturan Menteri tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat jelaslah bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, gejala diterimanya paradigma konstruktivisme dan tren pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal (pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang dikemas dalam bentuk Edutainment.
Kita sudah lama mengenal istilah learning by doing, maka learning by experiencing adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan "Edutainment". Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju, edutainment telah ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya menjadi edutainment and technotainment (Edutechnotainment: pen). Progam ini diakui telah membuka sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari "education and entertainment". Dapat diartikan sebagai progam pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sendang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga kegiatan tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
Edutainment dapat digunakan untuk mengemas model pembelajaran melalui lawatan sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta. Sebenarnya lawatan sejarah ini hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues, misalnya e
tips mudah menyusun skripsi
Skripsi merupakan syarat mutlak kelulusan bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di perguruan tinggi. Apapun jurusan yang diambil, setiap mahasiswa wajib menyusun skripsi untuk memenuhi SKS (Sistem Kredit Semester). Skripsi sendiri memiliki enam Sistem Kredit Semester. Skripsi juga dianggap sebagai titik puncak perjuangan mahasiswa dalam menyelesaikan kuliahnya. Ada banyak pelajaran yang akan diambil dari penyusunan skripsi seperti tidak mudah putus asa, kesabaran, ketekunan, dan lain-lain, yang nantinya akan sangat diperlukan untuk mengahadapi dunia kerja.
Bagi anda yang mengambil jurusan di bidang pendidikan seperti pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan sebagainya, tentunya ada langkah-langkah atau metode yang sedikit berbeda dari jurusan yang bukan pendidikan. Hal ini dikarenakan jurusan pendidikan lebih difokuskan pada sistem pengajaran. Biasanya mahasiswa jurusan pendidikan melakukan penelitian di sekolah-sekolah. Misalnya, ada skripsi yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dalam mengajar, tentang sistem pendidikan di sekolah tertentu, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, dasar-dasar menulis skripsi pendidikan sebenarnya hampir sama dengan penulisan skripsi pada umumnya. Langkah pertama yang harus dilakukan oleh mahasiswa adalah mengajukan judul skripsi kepada dosen pmbimbing. Setelah judul skripsi sudah disetujui, langkah kedua adalah mengajukan proposal skripsi, yang kemudian dilanjutkan dengan seminar proposal skipsi. Dalam seminar proposal skripsi ini, mahasiswa menjelaskan garis besar penelitian atau materi yang akan disusun menjadi sebuah skripsi kepada dosen. Langkah selanjutnya adalah melakukan penelitian. Selama penelitian, mahasiswa harus mencatat data-data penting yang nantinya akan dianalisa, diolah, dan diambil kesimpulannya. Setelah skripsi selesai disusun, kemudian skripsi tersebut diuji oleh dosen pembimbing dan dosen penguji dalam sebuah sidang skripsi. Dalam sidang skripsi tersebut, mahasiswa akan diberi pertanyaan tentang penelitiannya. Kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan setiap detail dari skripsi dan mempertahankan argumennya merupakan faktor yang penting untuk menentukan lulus tidaknya skripsi tersebut.
Skripsi pendidikan atau skripsi yang lain memerlukan kecermatan dalam penyusunannya. Hal ini karena isi dari sebuah skripsi harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, mahasiswa hendaknya sering berkonsltasi dengan dosen pembimbing untuk menghindari kesalahan yang fatal saat sidang skripsi. Bisa jadi kesalahan tersebut membuat mahasiswa tidak lulus ujian skripsi sehingga harus mengulang lagi pada semester berikutnya. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila mahasiswa yang akan membuat skripsi benar-benar fokus pada penelitiannya dan mengolah datanya dengan benar.