PENDEKATAN dan langkah pendidikan multikultural
Posted by tatang m. amirin on 11/06/2009 in Uncategorized
Tatang M. Amirin
Edisi 11 Juni 2009;12 Juni 2009
Menurut David Westmeier (dalam tulisan “online”-nya yang berjudul “A Basic Philosophy of Multicultural Education and its Application to the Classroom”, 11 Desember 1995) Hilda Hernandez dalam bukunya yang berjudul “Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Content and Process” menyebutkan bahwa Sleeter dan Grant, dua orang guru pendidikan multikultural (multicultural education’s “gurus”) mengemukakan ada lima pendekatan pendidikan multikultural.
Makna dari pendekatan pendidikan multikultural adalah bahwa dalam memaknai dan melaksanakan pendidikan mutlikultural itu ada beberapa mazhab, aliran, atau paham, yang pelaksanaannya menjadi seperti apa yang dipahami tersebut.
Pendekatan pertama, menurut analisis Sleeter dan Grant, disebut pendekatan “teaching the culturally different” (mengajar mereka yang berbeda budaya). Maksudnya mengajarkan kebudayaan tertentu kepada mereka yang tidak berkebudayaan seperti itu, atau yang berlainan budaya. Dalam hal ini yang menjadi sasaran pendidikan multikultural adalah orang-orang yang tergolong minoritas, mereka yang jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di lingkungan mayoritas, yang jumlahnya jauh lebih banyak, yang mempunyai kebudayaan yang berbeda dari yang mayoritas itu. Tujuan (isi) pendidikan multikultural dalam hal ini adalah mengajari mereka (kaum minoritas tersebut) kebudayaan kelompok mayoritas, sehingga mereka memiliki kompetensi (pengetahuan, nilai, dan kecakapan lain) dari kebudayaan mayoritas tersebut. Jadi, tujuan mendasar pendidikan multikultural menurut pendekatan ini adalah agar kaum minoritas bisa hidup sesuai dengan budaya mayoritas.
Pendekatan kedua disebut pendekatan “human relations” (hubungan insani, pergaulan kemasyarakatan). Sasaran pendidikan multikultural dengan pendekatan ini adalah mereka yang hidup dalam lingkungan sosial tempat banyak terjadi kontak (hubungan sosial) antar budaya (“intercultural contact”). Maksudnya, di dalam masyarakat itu banyak terjadi kontak sosial antar warga yang beragam etnis dan budayanya. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, pendidikan multikultural akan sangat tepat diselenggarakan di perkotaan besar di mana warganya terdiri dari berbagai etnis, dan yang dalam kehidupan kesehariannya akan memunculkan beragam kontak budaya. Kontak-kontak antar etnis yang memiliki budaya berbeda itu dapat memunculkan berbagai gesekan atau pertikaian (konflik). Tujuan utama pendidikan mutlikultural adalah mencegah terjadinya konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang etnis dan budaya tersebut.
Tidak dijelaskan oleh Sleeter dan Grant apa isi atau bentuk pendidikan multikultural dengan pendekatan ini. Namun demikian dpat diduga bahwa isinya adalah saling mempelajari budaya-budaya yang berbeda tersebut agar satu sama lain saling mengakui, saling memahami, dan saling menghargai.
Pendekatan ketiga, menurut Sleeter dan Grant, disebut pendekatan “kajian etnis” (“ethnic studies”). Konkritnya (penjelasan dari Penulis) ada bidang studi atau mata pelajaran yang berbunyi “Kajian etnis dan budaya Cina-Amerika, “Kajian etnis dan budaya Afro-Amerika,” ada pula “Kajian etnis dan budaya kulit hitam,” dan sebagainya. Yang menjadi sasaran pendidikan mutikultural ini siapa saja yang berminat tentangnya, dan tujuannya adalah mengenalkan budaya-budaya khas tertentu. Kelemahannya adalah dapat terjadi ada murid yang mempelajari budayanya sendiri (kulit hitam mempelajari budaya kulit hitam). Jarang terjadi murid mempelajari budaya orang (etnis) lain.
Pendekatan ini pada dasarnya juga mengenalkan berbagai budaya, walau bersifat sukarela, menurut siapa berminat apa, agar salingpaham, saling mengakui, dan saling menghargai.
Pendekatan keempat, agak “antik” namanya, karena disebut dengan “pendidikan multikultural.” (“Antik” karena pendidikan multikultural, pendekatannya juga pendidikan multikultural). Yang menjadi sasaran pendekatan ini adalah semua murid (bukan hanya yang berminat seperti pada pendekatan ketiga). Agar mudah memahami pendekatan ini, Penulis tambahkan paparan berikut.
Dengan pendekatan ini, semua murid, tanpa kecuali, mempelajari berbagai ragam kebudayaan (“multi cultures“). Jadi, isi pendidikan multikultural ini adalah multikultur, karenanya disebut “pendekatan pendidikan multikultural”. Tujuan pendekatan ini adalah mengedepankan hak asasi manusia (semua orang mempunyai hak-hak secara kodrati sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi), menghargai perbedaan (bahwa adanya perbedaan etnis dan budaya tidak harus menjadikan sesuatu pihak menganggap diri lebih tinggi dan menganggap yang lain lebih rendah), dan tanggap serta mau ikut terlibat mengatasi masalah-masalah kesetaraan (kesejajaran kemanusiaan kendati berbeda ras, warna kulit, dan budaya).
Pendekatan kelima versi Sleeter dan Grant disebut dengan pendekatan “education that is muticultural and socially reconstructive” (pendidikan yang bersifat multikultural dan yang merekonstruksi tatanan kemasyarakatan). “Merekonstruksi” maksudnya menata ulang, menyusun ulang, atau membangun kembali (merubah yang ada menjadi berbeda).
Tanpa menjelaskan apa penjelasan Sleeter dan Grant mengenai pendekatan ini, Westmeier (penulis artikel yang Penulis–Tatang M. Amirin–kutip ini, mengangap pendekatan ini jauh lebih baik dan tepat untuk menggambarkan apa sebenarnya pendidikan multikultural. Pertama, katanya, karena sebutan pendidikan yang bersifat multikultural lebih tepat dan benar dibandingkan dengan sebutan pendidikan multikultural. Dengan sebutan pendidikan yang bersifat multikultural menunjukkan keharusan (idealnya) “pendidikan multikultural” itu merambah masuk ke seluruh isi kurikulum (bidang studi). “Pendidikan multikultural” tidak lagi hanya sekedar bagian dari “pendidikan IPS.” Jadi, mata pelajaran bahasa, seni, matematika, IPA dan lain-lain harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan (di sekolah atau lembaga pendidikan formal) yang isinya bersifat multikultural.
Kedua, menurut Westmeier, sebutan “pendidikan yang bersifat merekonstruksi tatanan kemasyarakatan” mencerminkan tujuan utama pendekatan kelima ini yang, sebenarnya, mencakup tujuan pendekatan keempat, yaitu yang berkaitan dengan mengajarkan dan mempelajari hak-hak asasi manusia, menghargai keanekaragaman dan perbedaan, masalah-masalah kesetaraan dan sebagainya. Jadi, tujuan utamanya adalah menjadikan murid (mahasiswa) paham, tanggap, merasa punya tanggung jawab, dan mau melakukan tindakan nyata berkaitan dengan berbagai masalah multikultural (keanekaragaman budaya) yang ada di lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, dan masyarakat-bangsa pada umumnya.
Maksud apa yang dinyatakan baik oleh Sleeter dan Grant, maupun oleh Westmeier, adalah bahwa pendidikan multikultural yang bersifat menata ulang tatanan kemasyarakatan adalah menata kehidupan kemasyarakatan menjadi berbeda dari keadaan yang sekarang ada (di Amerika Serikat) yang masih memunculkan dan mencerminkan adanya diskriminasi sosial (pembedaan hak dan kewajiban karena berbeda ras dan budaya).
Menurut Westmeier pendekatan kelima ini merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengajarkan pendidikan multikultural di lembaga pendidikan Amerika Serikat. Pendekatan kelima ini yang benar-benar mengajarkan dan mengajari murid bagaimana “memahami” budaya AS, konkritnya budaya keluarga, budaya masyarakat sekitar, budaya seluruh masyarakat-bangsa, bahkan budaya masyarakat-dunia yang berbeda dari budaya AS. Pendekatan kelima ini, menurut Westmeier, lebih dari sekedar mengajarkan kepada murid budaya lain, melainkan mengajarkan kontak nyata dengan beragam budaya lain tersebut. Jadi, dengan pendekatan ini kegiatan belajar murid diselenggarakan melalui pengalaman pribadi langsung (langsung mengalami berbudaya yang lain). Pendekatan ini sekaligus pula membantu memudahkan mengajari orang lain mengenai budaya yang berbeda dari budayanya sendiri. Pendekatan ini membantu murid lebih menjadi “pengajar” (orang yang mengajari mendidik orang lain) dibandingkan sekedar sebagai orang yang mempunyai pengetahuan dan wawasan budaya.
Masalah utama dengan pendekatan ini, menurut simpulan akhir Westmeier, adalah bahwa amat sedikit sekali guru yang tahu mengenai cara menyatupadukan, meleburkan, “multikulturalisme” tadi ke dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Lalu, bagaimana menerapkan pendekatan “pendidikan yang bersifat multikultural dan rekonstruksi sosial” ini? Westmeier mengemukakan enam langkah praktis, yang singkatnya akan dipaparkan berikut. Sebagai pengingat, langkah ini diselenggarakan di lingkungan “kerap kontak antar etnis dan antar ragam budaya.”
Pertama (mulai dengan “diri guru”–Pen.), upayakan benar-benar agar para murid dapat memahami, menyadari, menghargai budaya para guru (yang bisa berbeda dari budaya mereka). Tema utamanya adalah “persahabatan.” Guru, misalnya, menunjukkan foto teman-temannya (dari berbagai ras dan budaya) dan biarkan murid berkomentar tentangnya. Selanjutnya murid-murid bisa melakukan hal yang serupa, menunjukkan siapa saja sahabat-sahabatnya.
Kedua (“bergeser ke diri murid–Pen.), tema sentralnya mengenai individual murid (setiap murid) dan bagaimana murid tersebut berbeda (apa saja perbedaan individual dan kebiasaan adat istiadat kultural pribadinya) dari orang-orang lain di sekitarnya.
Ketiga (“bergeser ke yang agak luas dari sekedar seseorang diri murid”–Pen.), tema sentralnya “keluarga.” Murid-murid diajak memahami latar belakang keluarganya, asal-usulnya dan sebagainya. “Silsilah keluarga” dapat dijadikan sebagai bahan diksusi dan pembahasan di kelas.
Keempat (“bergeser ke yang lebih luas lagi dari sekedar diri murid dan keluarganya”–Pen), berkaitan dengan “rekonstruksi sosial.” Tema sentralnya budaya masyarakat sekitar dan lingkungannya. Murid diajak memahami berbagai ragam etnis dan budaya yang ada di lingkungan hidup kemasyarakatannya.
Kelima (“bergeser ke yang lebih luas lagi dari masyarakat sekitar murid”–Pen.), tema sentralnya budaya masyarakat bangsa atau masyarakat yang lebih luas daripada sekedar masyarakat di sekitar rumah. Misalnya, ketika seseorang guru sedang mengajar murid-murid (kelas) yang menggunakan dua bahasa (Inggris dan Spanyol), guru juga membicarakan negara Amerika Latin (yang dipengaruhi bahasa dan pernah dijajah oleh Spanyol –Pen), misalnya dengan mengambil topik tentang semakin punahnya hutan-hutan tropis di sana.
Keenam(“bergeser ke yang paling luas”), sebagai tahap akhir, adalah mempelajari masyarakat dunia. Di ketika murid-murid sudah mulai memahami aneka ragam budaya yang mereka miliki, maka mereka dapat diajak menelusuri “jejak budaya” asal usul mereka (ke negara lain), dan budaya-budaya asing lainnya. Fokusnya menjadi “perbandingan budaya.” (Jangan lupa, warga kulit hitam Amerika Serikat berasal dari Afrika, jadi mereka diajak “berkelana” ke Afrika. Warga “kulit kuning” AS berasal dari Cina atau Jepang, maka mereka diajak “berkelana” ke Cina dan Jepang-Pen.)
Itulah lima pendekatan dan enam langkah pendidikan multikultural (pendidikan yang bersifat multikultural dan merekonstruksi tatanan kemasyarakatan) versi Sleeter & Grant serta Westmeir, versi Amerika Serikat.Lalu, di Indonesia akan seperti apa? Konteks Indonesia sangat berbeda dari Amerika Serikat, tentu saja. Di sini tidak ada diskriminasi sosial separah di AS (kulit putih versus kulit hitam serta berwarna lainnya). Di Indonesia tidak ada “imigran” sebanyak seperti di Amerika Serikat. Yang ada hanyalah suku-suku bangsa dengan mobilitas (pergerakan) sosial yang tidak sangat tinggi juga, kecuali di daerah tertentu (ibu kota dan kota besar, serta daerah transmigrasi). Mari kita pikirkan bersama, apakah memang pendidikan multikultural itu sedemikian mendesak digegap-gempitakan di Indonesia. Coba cermati apa saja isi pendidikan IPS (sejarah dan geografi, khususnya) dan PKn di sekolah-sekolah kita.
Browse » Home » » PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Minggu, 08 Januari 2012
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About This Blog
Lorem Ipsum
Lorem Ipsum
Lorem
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar